I.
PENDAHULUAN
Istilah Islam pasca Ibn Rusyd sendiri dipopulerkan oleh seorang
ahli Iran bernama Henry Corbin, untuk membantah pandangan arus utama bahwa
setelah Ibn Rusyd praktis tradisi filsafat Islam “mandeg” dan “mandul”.
Buku-buku teks standar tentang filsafat Islam yang dikarang baik oleh orang
Arab maupun orang Barat orientalis sampai saat ini masih menganggap bahwa
tradisi kefilsafatan di dunia Islam praktis hilang setelah wafatnya Ibn Rusyd.
Tuduhan ini tidak mendapatkan
kebenarannya ketika melihat begitu banyaknya tokoh filsof Islam yang muncul,
bahkan melebihi Ibn Rusyd itu sendiri. Contoh konkret adalah munculnya seorang
tokoh filsafat dalam Islam yaitu Nasiruddin Al-Tusi. Ilmuwan serba bisa.
Julukan itu rasanya amat pantas disandang Nasiruddin Al-Tusi. Sumbangannya bagi
perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tak ternilai besarnya.
Selama hidupnya, ilmuwan Muslim dari
Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan beragam ilmu seperti,
astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama
Islam.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana Riwayat Hidup Nasiruddin Al-Tusi?
B.
Apa Saja Karya-Karya Nasiruddin Al-Tusi?
C.
Bagaimana Pemikiran Filsafat Nasiruddin Al-Tusi?
III.
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Nasiruddin Al-Tusi
Nasiruddi Al-Tusi lahir di kota Thuss (Iran) pada tahun 597 H/1201
M. dan wafat di Baghdad pada tahun 672 H/1274 M dalam usia 73 tahun. Nama
lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan Al-Thusi. Ia
memperoleh panggilan dan gelar “Nasiruddin” (pembela agama) sewaktu pasukan
mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan (1217-1227 M) melancarkan serangannya dari
Asia Tengah kedalam wilayah Islam hingga merebut dan menguasai Baghdad pada
tahun 1258 M, dan para ahli astronomi Islam diminta Hulagu Khan mendampinginya.
Serangan pasukan Mongol itu terkenal buas pada setiap kota yang
diduduki. Tetapi melalui pengaruhnya terhadap Hulagu Khan maka ia dapat
menyelamatkan tokoh-tokoh ulama dan para sejarah Islam. Kemudian menjabat
penasihat Abaka Khan (1256-182 M) di Baghdad, putra Hulagu Khan.[1]
Para penggelut filsafat akan segera mengenali Nasirudin Al-Tusi
sebagai filosof kelas wahid asal Persia. Tapi bukan hanya itu keahliannya.
Sungguh berbilang dunia ilmu yang ia gumuli sepanjang hayat. Kedokteran,
geografi, farmasi, fisika, meneralogi, teologi, musik, optik, politik, sastra,
astronomi, matematika dan sebagainya. Semua beroleh jatah perhatian utamanya.
Hanya benar-benar yang ia kenal “ isi perut” nya hingga keinti-intinya hanyalah
kedua bidang terakhir di atas.
Kepakarannya dalam hal ini tak ada yang berani meragukan. Di
lapangan matematika umpamanya. Dari pergulatan dengan ilmu eksakta tersebut
Nasiruddin Al-Tusi sebuah kaidah atau teorema yang berbunyi “ jumlah 2 kuadrat
yang masing-masing merupakan sebuah bilangan atau angka ganjil tak akan pernah
menjadi sebuah kuadrat yang lain”. Diantara banyak karya Nasiruddin Al-Tusi
yang paling mencolok dan merampas perhatian tentulah ilmu perbintangan. Ia
memang kampiun di bidang astronomi dan Tusi yang dijuluki Al-Muhaqqiq (sang
peneliti) menumbuhkan hampir seluruh energi kecendekiaannya, beliau bekerja di
observatorium 2 khanid di Persia.
Digelutinya astronomi secara all-out hingga pada akhirnya
berhasil mendapatkan nilai yang sangat akurat bagi presesi (yaitu gerak lambat
tapi teratur dari sumbu perputaran bumi terhadap kutub ekliptika) matahari.
Disana pula tak letih-letihnya ia mencoba menemukan suatu alternatif terhadap
sistem “episikel” nya Ptelemaios (menurut Ptelemaios, sebuah planet berputar
tetap dalam suatu lingkaran kecil. Lingkaran kecil inilah yang disebut
episikel).
Nama Al-Tusi kian melambai sebagai pakar astronomi sesudah sukses
membangun observatorium di sebuah bukit dekat Maragha, sebuah pusat penelitian
astronomi di belahan dunia Timur. Seluruh ongkos pembangunan ditanggung
sepenuhnya oleh Kaisar Hulaghu Khan, termasuk pengadaan peralatan yang sudah dianggap tercanggih
dimasa itu.
Dengan peralatan “modern” tersebut tidak sedikit observasi berhasil
diselesaikan Tusi, sehingga berhasil merengsek ke atas bendera ilmuan Muslim.
Apalagi kompetisi di lapangan keilmuan di abad-abad keemasan Islam ketika itu belum
lagi meredup sama sekali. Lingkungan persaingan intelektual yang sehat dan
iklim “perang prestasi” terus di api-apikan di seantero negeri.[2]
B.
Karya-Karya Nasiruddin Al-Tusi
Adapun karya-karya Nasiruddin Al-Thusi
sebagi berikut:
1.
Karya dibidang logika diantaranya:
a. Asas
Al-Iqtibas
b. At-Tajrid
fi Al-Mantiq,
c. Syarh-I
Mantiq Al-Isyarat
d. Ta’dil
Al-Mi’yar
2.
Di bidang metafisika meliputi :
a.
Risalah dar Ithbat-I Wajib,
b.
Itsar-I Jauhar Al-Mufariq,
c.
Risalah dar Wujud-I Jauhar-I
Mujarrad,
d.
Risalah dar Itsbat-I ‘Aqi-I Fa’al,
e.
Risalah Darurat-I Marg,
f.
Risalah Sudur Kharat Az Wahdat,
g.
Risalah ‘Ilal wa Ma’lulat Fushul,
h.
Tashawwurat,
i.
Talkis Al-Muhassal dan
j.
Hall-I Musykilat Al-Asyraf.
3.
Di bidang etika meliputi :
a.
Akhlak-I Nashiri,
b.
Ausaf Al-Asyarf.
4.
Sementara di bidang dogmatik adalah
:
a.
Tajrid Al’Aqa’id,
b.
Qawa’id Al-‘Aqa’id,
c.
Risalah-I I’tiqodat.
5.
Di samping itu, beberapa karyanya
dalam bidang astronomi terangkum pada :
a.
Al-Mutawassithat Bain Al-Handasa wal
Hai’a,
b.
Kitab At-Tazkira fi al-Ilmal-hai’a,
c.
Zubdat Al-Hai’a 9 yang terbaik dari
astronomi),
d.
Al-Tahsil fil An-Nujum,
e.
Tahzir Al-Majisti,
f.
Mukhtasar fial-ilm At-Tanjim wa
Ma’rifat At-Taqwin ( ringkasan astrologi dan penanggalan),
g.
Kitab Al-Bari fi Ulum At-Taqwim wa
Harakat Al-Afak wa Ahkam An-Nujum ( buku
terunggul tentang Almanak, gerak bintang-bintang dan astrologi kehakiman ).[3]
6.
Di bidang aritmatika, geometri, dan
trigonometri adalah :
a.
Al-Mukhtasar bi Jami Al-Hisab bi
At-Takht wa At-Turab ( ikhtisar dari seluruh perhitungan dengan tabel dan bumi
),
b.
Al-Jabr wa Al-Muqabala ( risalah
tetang Al-Jabar )
c.
Al-Ushul Al-Maudua ( risalah
mengenai Euclidas Postulate ),
d.
Qawa’id Al-Handasa ( kaidah-kaidah
geometri ),
e.
Tahrir al-Ushul,
f.
Kitab Shakl Al-Qatta ( risalah
tentang Trilateral ),
7.
Di bidang optik, ia tuangkan
keilmuannya tersebut dalam
a.
Tahrir Kitab Al-Manazir,
b.
Mabahis Finikas Ash-Shu’ar wa in
Itaafiha ( penelitian tentang refleksi dan defleksi sinar-sinar).
8.
Di bidang seni (syair) meskipun
tidak sekaliber Omar Khayam atau pun Jalaluddin Rumi, ia juga mampu
menghasilkan karya yang diabadikan dalam buku yang berjudul Kitab fi Ilm
Al-Mau-Siqi dan Kanz At-Tuhaf.
9.
Karya di bidang medical adalah kitab
Al-Bab Bahiyah fi At-Tarakib As-Sultaniyah; buku ini bercerita tentang
cara diet, peraturan-peraturan kesehatan dan hubungan seksual.
Beberapa
pikiran lainnya dapat dikemukakan di sini tentang kajian perbandingan dan
pembagiannya. Thusi dengan jelas menyatakan bahwa setiap perbandingan suatu
besaran, apakah sepadan atau tidak dapat dikatakan sebagai bilangan, suatu
pernyataan Newton yang membantu menegaskannya kembali dalam Universitas
Arithemetic pada tahun 1707.[4]
C.
Filsafat Nasiruddin Al-Tusi
Nasirudin Al-Tusi membagi metafisika ke dalam dua bagian, yakni ilmu
Ketuhanan (ilm- ilahi) dan Filsafat Pertama (falsafah- i- ala).
Yang pertama mengenai Allah, akal, dan jiwa, dan yang kedua mengenai
universal-universal dan pengetahuan tentang alam semesta. Ia berpendapat bahwa
Allah, sebagai dasar segala hal yang ada, tidak dapat dibuktikan dan memang
tidak memerlukan pembuktian logika. Dia adalah Wujud yang a priori,
fundamental, dan wajib. Oleh karena itu, Ia tidak memerlukan penompang walaupun
segala hal lainnya, karena sifat kontigen (mumkin), memerlukannya
sebagai pembenaran mereka yang terakhir. Tentang sosial penciptaan Al-Tusi
cenderung pada teori emanasi, walaupun disana-sini ia tampaknya menganut teori
penciptaan ortodoks.[5]
Di bawah ini pemikiran pokok filsafat Nasiruddin al-Tusi.
1.
Filsafat Moral
Filsafat ini dapat ditangkap dari hasil ringkasan Tusi terhadap
karya Miskawaih (Tahdzib Al-Akhlaq) yang memasukkan unsur moral (etika)
dalam kitabnya Akhlaq-I Nashiri. Dengan mengikuti pendapat Ibnu
Miskawaih, Tusi menganggap bahwa kebahagiaan utama (Sa’adat-I Quswa)
adalah tujuan moral utama, yang ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia di
dalam evolusi kosmik dan diwujudkan melalui kesediaannya untuk berdisiplin dan
patuh.
Menurut Thusi, penyakit moral itu bisa disebabkan oleh salah satu
dari tiga sebab, keberlebihan, keberkurangan, atau ketidakwajaran akal.
2.
Filsafat Jiwa
Thusi berasumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang
bisa terbukti sendiri dan arena itu tidak memerlukan bukti lain. Lagi pula jiwa
tidak bisa dibuktikan. Dalam masalah semacam ini, pemikiran yang lepas dari
eksistensi orang itu sendiri merupakan suatu kemustahilan dan kemusykilan yang
logis sebab suatu argumen mensyaratkan adanya seorang ahli argumen dan sebuah
masalah untuk diargumentasi, sedangkan dalam hal ini keduanya sama yaitu jiwa.
Jiwa merupan subtansi sederhana dan immaterial yang dapat
merasa sendiri. Ia mengontrol tubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasaan,
tapi ia sendiri tidak dapat dirasa lewat alat-alat tubuh. Setelah menyebutkan
argumentasi Ibnu Miskawaih mengenai jasmaniah jiwa dari sifatnya yang tidak
dapat dibagi, kemampuanya untuk membuat bentuk-bentuk baru tanpa kehilangan
bentuk-bentuknya yang lama, pemahamannya akan bentuk-bentuknya yang
bertentangan pada waktu yang sama, dan pembetulannya akan ilusi rasa.
Thusi menambahkan menambahkan dua argumentasinya sendiri.
Penilaian atas logika, fisika, matematika, teologi, dan sebagainya, semuanya
ada di dalam satu jiwa tanpa bercampur baur dan dapat diingat dengan kejelasan
yang khas, yang mustahil ada di dalam suatu subtansi material. Oleh karena itu,
jiwa merupakn suatu subtansi immaterial. Lagi pula, akomodasi fisik itu
terbatas, sehingga seratus orang tidak dapat ditempatkan di dalam sebuah tempat
yang dibuat untuk lima puluh orang, hal ini tidak berlaku bagi jiwa. Dapat
dikatakan bahwa jiwa mempunyai cukup kemampuan untuk menempatkan semua gagasan
dan konsep objek yang dikenalnya kedalam banyak ruang agar setiap waktu
diperlukan. Ini juga membuktikan bahwa jiwa merupakan suatu subtansi yang
sederhana dan immaterial.
Dalam ungkapan umum “kepalaku, mataku, telingaku,” kata “ku”
menunjukkan induvidualitas (huwiyyah) jiwa, yang memiliki
anggota-anggota tubuh ini, dan bukan jasmaniyah. Memang, jiwa memerlukan tubuh
sebagai alat penyempurna dirinya, tetapi ia tidak begitu, dikarenakan
pemilikannya akan tubuh.
Al-Thusi menambahkan jiwa imajinatif yang menempati posisi
tengah diantara jiwa hewan dan manusiawi. Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya
akal (nutq) yang menerima pengetahuan dari akal pertama. Akal itu ada
dua jenis yaitu akal teoritis dan akal praktis, sebagaiman yang dikemukan oleh
Aristoteles.
Dengan mengikuti pendapat Al-Kindi, Al-Thusi beranggapan bahwa
akal teoritis merupakan suatu potensialita, yang perwujudannya mencangkup empat
tingkatan, yaitu akal material (Aql-I Hayulani), akal malaikat (Aql-I
malaki), akal aktif (‘Aql-I bi al-Fi’il), dan akal yang diperoleh (‘Aql-I
Mustafad). Pada tingkatan akal yang diperoleh setiap bentuk konseptual yang
terdapat di dalam jiwa menjadi nyata terlihat, seperti wajah seseorang yang ada
di dalam kaca yang dapat dilihat oleh orang tersebut. Di pihak lain, akal
praktis berkenaan dengan tindakan-tindakan yang tidak sengaja dan sengaja. Oleh
karena itu, potensialitasnya diwujudkan lewat tindakan-tindakan moral, kerumah
tanggaan dan politis.
Jiwa imajinatif berkenaan dengan persepsi-persepsi rasa dari
satu pihak, dan dengan abstraksi-abstraksi rasional dari pihak lain, sehingga
jika ia disatuakan dengan jiwa hewani, ia akan bergantung kepadanya dan hancur
bersamanya. Akan tetapi, jika ia dihubungkan dengan jiwa manusia, ia menjadi
terlepas dari anggota-anggota tubuh dan ikut bergembira dan bersedih bersama
jiwa itu dengan kekekalannya. Setelah keterpisahan jiwa dan tubuh, suatu jejak
imajinasi tetap berada dalam bentuknya, dan hokum atau perhargaan jiwa
manusiawi menjadi bergantung pada jejak ini (hai’at) yang dikenal atau
dilakukan oleh jiwa imajinatif di dunia ini.
Imajinasi sensitif
dan kalkualtif Aristoteles jelas merupakan struktur jiwa imajinasi Thusi,
tetapi tindakannya menghubungkan jiwa imajinatif dengan teori hukum dan
penghargaan yang berbelit-belit di akhirat, ini merupakan gagasan-gagasannya
sendiri. Adapun mengenai tradisi yang diterimannya dari Ibnu Sina dan
Al-Ghazali, Ath-Thusi mempercayai lokalisasi fungsi di dalam otak. Dia telah
menempatkan akal sehat (Hiss-I Mushtarak) dalam ruangan otak yang
pertama, persepsi (Mushawwirah) di awal bagian pertama ruang otak yang
kedua, imajinasi dibagian depan ruang otak yang ketiga, dan ingatan dibagian
belakang otak.[6]
3.
Metafisika
Menurut Thusi, metafisika terdiri atas dua bagian, ilmu
ketuhanan (‘Ilm-I Ilahi) dan filsafat pertama (Falsafah-I Ula)
pengetahuan tentang Tuhan, akal dan jiwa merupakan ilmu ketuhan dan pengetahuan
mengenai alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta
merupakan filsafat pertama. Pengetahuan tentang kelompok-kelompok ketunggalan
dan kemajemukan, kepastian dan kemungkinan, esensi, dan eksistensi kekekalan
dan ketidak kekalan juga membentuk bagian dari filsafat pertama tersebut.
Diantara cabang (furu’) metafisika itu termasuk
pengetahuan kenabian (Nubuwwat), kepemimpinan spiritual (Imamat)
dan hari pengadilan (Qiyamat). Jelajah subjek itu menunjukan bahwa
metafisika merupakan esensi filsafat Islam dan lingkup sumbangan utamanya bagi
sejarah gagasan-gagasan.
4.
Logika
Mengenai logika, karya-karyanya meliputi Asas Al-Iqtibas,
Syarh-I Mantiq Al-Isyarat, Ta’adil Al-Mi’yar dan Tajrid fi Al-Mantiq. Karya
yang disebut pertama memberikan penjelasan yang gamblang mengenai masalah itu
dalam bahasa Persia atas dasar logika Ibnu sina dalam Asy-Syifa.
Al-Thusi menganggap logika sebagai suatu ilmu dan suatu alat
ilmu. Sebagai ilmu, ia bertujuan memahami makna-makna dan sifat dari
makna-makna yang dipahami itu. Adapun sebagai alat, ia menjadi kunci unutuk
memahami berbagai ilmu. Kalau pengetahuan tentang makna dan sifat dari
makna-makna itu menjadi sedemikan berurat akar di dalam pikiran sehingga tidak
diperlukan lagi pemikiran refleksi, ilmu logika menjadi suatu seni yang
bermanfaat (san’at) yang membebaskan pikiran dari kesalahan pengertian
di suatu pihak, dan kekacauan di lain pihak.
5.
Tuhan
Setelah menyangkal kemungkinan logis eteisme dan adanya
dualitas pokok, Thusi tidak seperti Farabi, Ibnu Miskawaih, dan Ibnu Sina,
mengemukakan bahwa logika dan metafisika sama sekali tidak dapat membuktikan
eksistensi Tuhan secara rasional. Sebagai penyebab utama bagi adanya
bukti-bukti dan karenanya merupakan dasar dari semua logika dan metafisika.
Dari studi kehidupan moral pun, Thusi sampai pada kesimpulan
yang sama dan seperti Kant pada zaman modern, dia beranggapan bahwa eksistensi
Tuhan merupakan suatu postulat pokok etika.
Selanjutnya Thusi mengemukakan bahwa bukti mengisyaratkan
pemahaman sempurna tentang sesuatu yang harus dibuktikan. Dan karena mustahil
bagi manusia yang terbatas untuk memahami Tuhan dalam keseluruhan-Nya, dan
mustahil pula bagi manusia untuk membuktikan eksistensi-Nya.
Dalam karyanya Fushul (risalah yang terkenal dan paling
banyak diulas), Thusi meninggalkan sikap tersebut sekaligus mendukung
sepenuhnya doktrin ortodoks mengenai creation ex nihilo. Dengan
menggolongkan Dzat menjadi yang pasti dan mungkin, dia mengemukakan bahwa
eksistensi yang mungkin itu bergantung pada yang pasti, dan karena ia maujud
akibat dari sesuatu yang laindari dirinya, tidak dapat dikatakan bahwa ia dalam
keadaan maujud sebab penciptaan yang maujud itu mustahil. Karena sesuatu yang
tidak maujud itu tidak ada, begitu juga Kemaujudan yang pasti itu, menciptakan
yang mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut penciptaan dan
hal-hal yang ada itu di sebut yang tercipta (muhdats).
Refleksi akal pertama dikatakannya sebagai telah menciptakan
akal, jiwa dan tubuh lingkungan pertama. Dikemukakannya bahwa sikap ini jelas
mengisyaratkan kemajemukan pada yang tercipta oleh akal pertama, yang
bertentangan dengan prinsip bahwa dari satu ketakadaan muncul satu. Adapun mengenai
sumber kemajemukan, lebih jauh dia mengemukakan bahwa kemajemukan bisa maujud
melalui wawenamg Tuhan dan bisa pula tanpa wawenang Tuhan. Jika ia maujud,
karena wewenang Tuhan, tidak ada keraguan lagi bahwa ia dating dari Tuhan.
Dipihak lain jika ia maujud tanpa wewenang Tuhan, itu bererti adanya tuhan
selain Allah.[7]
IV.
KESIMPULAN
Nasiruddi Al-Tusi lahir di kota Thuss (Iran) pada tahun 597 H/1201
M. dan wafat di Baghdad pada tahun 672 H/1274 M dalam usia 73 tahun. Nama
lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan Al-Thusi. Ia
memperoleh panggilan dan gelar “Nasiruddin” (pembela agama).
Pemikiran filsafat Nasiruddin al-Thusi adalah mengenai:
1.
Filsafat moral
2.
Filsafat jiwa
3.
Metafisika
4.
Ketuhanan
5.
Logika
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami
sampaikan. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat
kami harapkan, demi sempurnanya penyusunan makalah selanjutnya.
[1]Yoesoep
Souyb, Pemikiran Islam Merubah Dunia, (Medan: Firma Madju, 1984), hlm
200.
[2]M.
Natsir Arsyad, Cendekiawan Muslim dari Khalili sampai Habibie, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 343-347
[3]Dedi
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm.
250.
[4]Dedi
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 250-251.
[5]Qadir
C. A., Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2002), hlm. 149.
[6]Dedi
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 255-256.
[7]Dedi supriyadi, pengantar filsafat Islam, hlm. 256-260.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar