Rabu, 22 Januari 2014

NASIRUDDIN AT-THUSSI


I.       PENDAHULUAN
Istilah Islam pasca Ibn Rusyd sendiri dipopulerkan oleh seorang ahli Iran bernama Henry Corbin, untuk membantah pandangan arus utama bahwa setelah Ibn Rusyd praktis tradisi filsafat Islam “mandeg” dan “mandul”. Buku-buku teks standar tentang filsafat Islam yang dikarang baik oleh orang Arab maupun orang Barat orientalis sampai saat ini masih menganggap bahwa tradisi kefilsafatan di dunia Islam praktis hilang setelah wafatnya Ibn Rusyd.
Tuduhan ini tidak mendapatkan kebenarannya ketika melihat begitu banyaknya tokoh filsof Islam yang muncul, bahkan melebihi Ibn Rusyd itu sendiri. Contoh konkret adalah munculnya seorang tokoh filsafat dalam Islam yaitu Nasiruddin Al-Tusi. Ilmuwan serba bisa. Julukan itu rasanya amat pantas disandang Nasiruddin Al-Tusi. Sumbangannya bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tak ternilai besarnya.
Selama hidupnya, ilmuwan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan beragam ilmu seperti, astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama Islam.

II.    RUMUSAN MASALAH
A.       Bagaimana Riwayat Hidup Nasiruddin Al-Tusi?
B.       Apa Saja Karya-Karya Nasiruddin Al-Tusi?
C.       Bagaimana Pemikiran Filsafat Nasiruddin Al-Tusi?

III. PEMBAHASAN
A.       Riwayat Hidup Nasiruddin Al-Tusi
Nasiruddi Al-Tusi lahir di kota Thuss (Iran) pada tahun 597 H/1201 M. dan wafat di Baghdad pada tahun 672 H/1274 M dalam usia 73 tahun. Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan Al-Thusi. Ia memperoleh panggilan dan gelar “Nasiruddin” (pembela agama) sewaktu pasukan mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan (1217-1227 M) melancarkan serangannya dari Asia Tengah kedalam wilayah Islam hingga merebut dan menguasai Baghdad pada tahun 1258 M, dan para ahli astronomi Islam diminta Hulagu Khan mendampinginya.
Serangan pasukan Mongol itu terkenal buas pada setiap kota yang diduduki. Tetapi melalui pengaruhnya terhadap Hulagu Khan maka ia dapat menyelamatkan tokoh-tokoh ulama dan para sejarah Islam. Kemudian menjabat penasihat Abaka Khan (1256-182 M) di Baghdad, putra Hulagu Khan.[1]
Para penggelut filsafat akan segera mengenali Nasirudin Al-Tusi sebagai filosof kelas wahid asal Persia. Tapi bukan hanya itu keahliannya. Sungguh berbilang dunia ilmu yang ia gumuli sepanjang hayat. Kedokteran, geografi, farmasi, fisika, meneralogi, teologi, musik, optik, politik, sastra, astronomi, matematika dan sebagainya. Semua beroleh jatah perhatian utamanya. Hanya benar-benar yang ia kenal “ isi perut” nya hingga keinti-intinya hanyalah kedua bidang terakhir di atas.
Kepakarannya dalam hal ini tak ada yang berani meragukan. Di lapangan matematika umpamanya. Dari pergulatan dengan ilmu eksakta tersebut Nasiruddin Al-Tusi sebuah kaidah atau teorema yang berbunyi “ jumlah 2 kuadrat yang masing-masing merupakan sebuah bilangan atau angka ganjil tak akan pernah menjadi sebuah kuadrat yang lain”. Diantara banyak karya Nasiruddin Al-Tusi yang paling mencolok dan merampas perhatian tentulah ilmu perbintangan. Ia memang kampiun di bidang astronomi dan Tusi yang dijuluki Al-Muhaqqiq (sang peneliti) menumbuhkan hampir seluruh energi kecendekiaannya, beliau bekerja di observatorium 2 khanid di Persia.
Digelutinya astronomi secara all-out hingga pada akhirnya berhasil mendapatkan nilai yang sangat akurat bagi presesi (yaitu gerak lambat tapi teratur dari sumbu perputaran bumi terhadap kutub ekliptika) matahari. Disana pula tak letih-letihnya ia mencoba menemukan suatu alternatif terhadap sistem “episikel” nya Ptelemaios (menurut Ptelemaios, sebuah planet berputar tetap dalam suatu lingkaran kecil. Lingkaran kecil inilah yang disebut episikel).
Nama Al-Tusi kian melambai sebagai pakar astronomi sesudah sukses membangun observatorium di sebuah bukit dekat Maragha, sebuah pusat penelitian astronomi di belahan dunia Timur. Seluruh ongkos pembangunan ditanggung sepenuhnya oleh Kaisar Hulaghu Khan, termasuk pengadaan  peralatan yang sudah dianggap tercanggih dimasa itu.
Dengan peralatan “modern” tersebut tidak sedikit observasi berhasil diselesaikan Tusi, sehingga berhasil merengsek ke atas bendera ilmuan Muslim. Apalagi kompetisi di lapangan keilmuan di abad-abad keemasan Islam ketika itu belum lagi meredup sama sekali. Lingkungan persaingan intelektual yang sehat dan iklim “perang prestasi” terus di api-apikan di seantero negeri.[2]

B.       Karya-Karya Nasiruddin Al-Tusi
Adapun karya-karya Nasiruddin Al-Thusi sebagi berikut:
1.      Karya dibidang logika diantaranya:
a.       Asas Al-Iqtibas
b.      At-Tajrid fi Al-Mantiq,
c.       Syarh-I Mantiq Al-Isyarat
d.      Ta’dil Al-Mi’yar
2.      Di bidang metafisika meliputi :
a.       Risalah dar Ithbat-I Wajib,
b.      Itsar-I Jauhar Al-Mufariq,
c.       Risalah dar Wujud-I Jauhar-I Mujarrad,
d.      Risalah dar Itsbat-I ‘Aqi-I Fa’al,
e.       Risalah Darurat-I Marg,
f.       Risalah Sudur Kharat Az Wahdat,
g.      Risalah ‘Ilal wa Ma’lulat Fushul,
h.      Tashawwurat,
i.        Talkis Al-Muhassal dan
j.        Hall-I Musykilat Al-Asyraf.
3.      Di bidang etika meliputi :
a.       Akhlak-I Nashiri,
b.      Ausaf Al-Asyarf.

4.      Sementara di bidang dogmatik adalah :
a.       Tajrid Al’Aqa’id,
b.      Qawa’id Al-‘Aqa’id,
c.       Risalah-I I’tiqodat.
5.      Di samping itu, beberapa karyanya dalam bidang astronomi terangkum pada :
a.       Al-Mutawassithat Bain Al-Handasa wal Hai’a,
b.      Kitab At-Tazkira fi al-Ilmal-hai’a,
c.       Zubdat Al-Hai’a 9 yang terbaik dari astronomi),
d.      Al-Tahsil fil An-Nujum,
e.       Tahzir Al-Majisti,
f.       Mukhtasar fial-ilm At-Tanjim wa Ma’rifat At-Taqwin ( ringkasan astrologi dan penanggalan),
g.      Kitab Al-Bari fi Ulum At-Taqwim wa Harakat Al-Afak wa Ahkam  An-Nujum ( buku terunggul tentang Almanak, gerak bintang-bintang dan astrologi kehakiman ).[3]
6.      Di bidang aritmatika, geometri, dan trigonometri adalah :
a.       Al-Mukhtasar bi Jami Al-Hisab bi At-Takht wa At-Turab ( ikhtisar dari seluruh perhitungan dengan tabel dan bumi ),
b.      Al-Jabr wa Al-Muqabala ( risalah tetang Al-Jabar )
c.       Al-Ushul Al-Maudua ( risalah mengenai Euclidas Postulate ),
d.      Qawa’id Al-Handasa ( kaidah-kaidah geometri ),
e.       Tahrir al-Ushul,
f.       Kitab Shakl Al-Qatta ( risalah tentang Trilateral ),
7.      Di bidang optik, ia tuangkan keilmuannya tersebut dalam
a.       Tahrir Kitab Al-Manazir,
b.      Mabahis Finikas Ash-Shu’ar wa in Itaafiha ( penelitian tentang refleksi dan defleksi sinar-sinar).

8.      Di bidang seni (syair) meskipun tidak sekaliber Omar Khayam atau pun Jalaluddin Rumi, ia juga mampu menghasilkan karya yang diabadikan dalam buku yang berjudul Kitab fi Ilm Al-Mau-Siqi dan Kanz At-Tuhaf.
9.      Karya di bidang medical adalah kitab Al-Bab Bahiyah fi At-Tarakib As-Sultaniyah; buku ini bercerita tentang cara diet, peraturan-peraturan kesehatan dan hubungan seksual.
           Beberapa pikiran lainnya dapat dikemukakan di sini tentang kajian perbandingan dan pembagiannya. Thusi dengan jelas menyatakan bahwa setiap perbandingan suatu besaran, apakah sepadan atau tidak dapat dikatakan sebagai bilangan, suatu pernyataan Newton yang membantu menegaskannya kembali dalam Universitas Arithemetic pada tahun 1707.[4]

C.       Filsafat Nasiruddin Al-Tusi
Nasirudin Al-Tusi membagi metafisika ke dalam dua bagian, yakni ilmu Ketuhanan (ilm- ilahi) dan Filsafat Pertama (falsafah- i- ala). Yang pertama mengenai Allah, akal, dan jiwa, dan yang kedua mengenai universal-universal dan pengetahuan tentang alam semesta. Ia berpendapat bahwa Allah, sebagai dasar segala hal yang ada, tidak dapat dibuktikan dan memang tidak memerlukan pembuktian logika. Dia adalah Wujud yang a priori, fundamental, dan wajib. Oleh karena itu, Ia tidak memerlukan penompang walaupun segala hal lainnya, karena sifat kontigen (mumkin), memerlukannya sebagai pembenaran mereka yang terakhir. Tentang sosial penciptaan Al-Tusi cenderung pada teori emanasi, walaupun disana-sini ia tampaknya menganut teori penciptaan ortodoks.[5]
Di bawah ini pemikiran pokok filsafat Nasiruddin al-Tusi.
1.    Filsafat Moral
Filsafat ini dapat ditangkap dari hasil ringkasan Tusi terhadap karya Miskawaih (Tahdzib Al-Akhlaq) yang memasukkan unsur moral (etika) dalam kitabnya Akhlaq-I Nashiri. Dengan mengikuti pendapat Ibnu Miskawaih, Tusi menganggap bahwa kebahagiaan utama (Sa’adat-I Quswa) adalah tujuan moral utama, yang ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia di dalam evolusi kosmik dan diwujudkan melalui kesediaannya untuk berdisiplin dan patuh.
Menurut Thusi, penyakit moral itu bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab, keberlebihan, keberkurangan, atau ketidakwajaran akal.
2.    Filsafat Jiwa
Thusi berasumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang bisa terbukti sendiri dan arena itu tidak memerlukan bukti lain. Lagi pula jiwa tidak bisa dibuktikan. Dalam masalah semacam ini, pemikiran yang lepas dari eksistensi orang itu sendiri merupakan suatu kemustahilan dan kemusykilan yang logis sebab suatu argumen mensyaratkan adanya seorang ahli argumen dan sebuah masalah untuk diargumentasi, sedangkan dalam hal ini keduanya sama yaitu jiwa.
Jiwa merupan subtansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Ia mengontrol tubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasaan, tapi ia sendiri tidak dapat dirasa lewat alat-alat tubuh. Setelah menyebutkan argumentasi Ibnu Miskawaih mengenai jasmaniah jiwa dari sifatnya yang tidak dapat dibagi, kemampuanya untuk membuat bentuk-bentuk baru tanpa kehilangan bentuk-bentuknya yang lama, pemahamannya akan bentuk-bentuknya yang bertentangan pada waktu yang sama, dan pembetulannya akan ilusi rasa.
Thusi menambahkan menambahkan dua argumentasinya sendiri. Penilaian atas logika, fisika, matematika, teologi, dan sebagainya, semuanya ada di dalam satu jiwa tanpa bercampur baur dan dapat diingat dengan kejelasan yang khas, yang mustahil ada di dalam suatu subtansi material. Oleh karena itu, jiwa merupakn suatu subtansi immaterial. Lagi pula, akomodasi fisik itu terbatas, sehingga seratus orang tidak dapat ditempatkan di dalam sebuah tempat yang dibuat untuk lima puluh orang, hal ini tidak berlaku bagi jiwa. Dapat dikatakan bahwa jiwa mempunyai cukup kemampuan untuk menempatkan semua gagasan dan konsep objek yang dikenalnya kedalam banyak ruang agar setiap waktu diperlukan. Ini juga membuktikan bahwa jiwa merupakan suatu subtansi yang sederhana dan immaterial.
Dalam ungkapan umum “kepalaku, mataku, telingaku,” kata “ku” menunjukkan induvidualitas (huwiyyah) jiwa, yang memiliki anggota-anggota tubuh ini, dan bukan jasmaniyah. Memang, jiwa memerlukan tubuh sebagai alat penyempurna dirinya, tetapi ia tidak begitu, dikarenakan pemilikannya akan tubuh.
Al-Thusi menambahkan jiwa imajinatif yang menempati posisi tengah diantara jiwa hewan dan manusiawi. Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya akal (nutq) yang menerima pengetahuan dari akal pertama. Akal itu ada dua jenis yaitu akal teoritis dan akal praktis, sebagaiman yang dikemukan oleh Aristoteles.
Dengan mengikuti pendapat Al-Kindi, Al-Thusi beranggapan bahwa akal teoritis merupakan suatu potensialita, yang perwujudannya mencangkup empat tingkatan, yaitu akal material (Aql-I Hayulani), akal malaikat (Aql-I malaki), akal aktif (‘Aql-I bi al-Fi’il), dan akal yang diperoleh (‘Aql-I Mustafad). Pada tingkatan akal yang diperoleh setiap bentuk konseptual yang terdapat di dalam jiwa menjadi nyata terlihat, seperti wajah seseorang yang ada di dalam kaca yang dapat dilihat oleh orang tersebut. Di pihak lain, akal praktis berkenaan dengan tindakan-tindakan yang tidak sengaja dan sengaja. Oleh karena itu, potensialitasnya diwujudkan lewat tindakan-tindakan moral, kerumah tanggaan dan politis.
Jiwa imajinatif berkenaan dengan persepsi-persepsi rasa dari satu pihak, dan dengan abstraksi-abstraksi rasional dari pihak lain, sehingga jika ia disatuakan dengan jiwa hewani, ia akan bergantung kepadanya dan hancur bersamanya. Akan tetapi, jika ia dihubungkan dengan jiwa manusia, ia menjadi terlepas dari anggota-anggota tubuh dan ikut bergembira dan bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya. Setelah keterpisahan jiwa dan tubuh, suatu jejak imajinasi tetap berada dalam bentuknya, dan hokum atau perhargaan jiwa manusiawi menjadi bergantung pada jejak ini (hai’at) yang dikenal atau dilakukan oleh jiwa imajinatif di dunia ini.
Imajinasi  sensitif dan kalkualtif Aristoteles jelas merupakan struktur jiwa imajinasi Thusi, tetapi tindakannya menghubungkan jiwa imajinatif dengan teori hukum dan penghargaan yang berbelit-belit di akhirat, ini merupakan gagasan-gagasannya sendiri. Adapun mengenai tradisi yang diterimannya dari Ibnu Sina dan Al-Ghazali, Ath-Thusi mempercayai lokalisasi fungsi di dalam otak. Dia telah menempatkan akal sehat (Hiss-I Mushtarak) dalam ruangan otak yang pertama, persepsi (Mushawwirah) di awal bagian pertama ruang otak yang kedua, imajinasi dibagian depan ruang otak yang ketiga, dan ingatan dibagian belakang otak.[6]
3.    Metafisika
Menurut Thusi, metafisika terdiri atas dua bagian, ilmu ketuhanan (‘Ilm-I Ilahi) dan filsafat pertama (Falsafah-I Ula) pengetahuan tentang Tuhan, akal dan jiwa merupakan ilmu ketuhan dan pengetahuan mengenai alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta merupakan filsafat pertama. Pengetahuan tentang kelompok-kelompok ketunggalan dan kemajemukan, kepastian dan kemungkinan, esensi, dan eksistensi kekekalan dan ketidak kekalan juga membentuk bagian dari filsafat pertama tersebut.
Diantara cabang (furu’) metafisika itu termasuk pengetahuan kenabian (Nubuwwat), kepemimpinan spiritual (Imamat) dan hari pengadilan (Qiyamat). Jelajah subjek itu menunjukan bahwa metafisika merupakan esensi filsafat Islam dan lingkup sumbangan utamanya bagi sejarah gagasan-gagasan.
4.    Logika
Mengenai logika, karya-karyanya meliputi Asas Al-Iqtibas, Syarh-I Mantiq Al-Isyarat, Ta’adil Al-Mi’yar dan Tajrid fi Al-Mantiq. Karya yang disebut pertama memberikan penjelasan yang gamblang mengenai masalah itu dalam bahasa Persia atas dasar logika Ibnu sina dalam Asy-Syifa.
Al-Thusi menganggap logika sebagai suatu ilmu dan suatu alat ilmu. Sebagai ilmu, ia bertujuan memahami makna-makna dan sifat dari makna-makna yang dipahami itu. Adapun sebagai alat, ia menjadi kunci unutuk memahami berbagai ilmu. Kalau pengetahuan tentang makna dan sifat dari makna-makna itu menjadi sedemikan berurat akar di dalam pikiran sehingga tidak diperlukan lagi pemikiran refleksi, ilmu logika menjadi suatu seni yang bermanfaat (san’at) yang membebaskan pikiran dari kesalahan pengertian di suatu pihak, dan kekacauan di lain pihak.


5.    Tuhan
Setelah menyangkal kemungkinan logis eteisme dan adanya dualitas pokok, Thusi tidak seperti Farabi, Ibnu Miskawaih, dan Ibnu Sina, mengemukakan bahwa logika dan metafisika sama sekali tidak dapat membuktikan eksistensi Tuhan secara rasional. Sebagai penyebab utama bagi adanya bukti-bukti dan karenanya merupakan dasar dari semua logika dan metafisika.
Dari studi kehidupan moral pun, Thusi sampai pada kesimpulan yang sama dan seperti Kant pada zaman modern, dia beranggapan bahwa eksistensi Tuhan merupakan suatu postulat pokok etika.
Selanjutnya Thusi mengemukakan bahwa bukti mengisyaratkan pemahaman sempurna tentang sesuatu yang harus dibuktikan. Dan karena mustahil bagi manusia yang terbatas untuk memahami Tuhan dalam keseluruhan-Nya, dan mustahil pula bagi manusia untuk membuktikan eksistensi-Nya.
Dalam karyanya Fushul (risalah yang terkenal dan paling banyak diulas), Thusi meninggalkan sikap tersebut sekaligus mendukung sepenuhnya doktrin ortodoks mengenai creation ex nihilo. Dengan menggolongkan Dzat menjadi yang pasti dan mungkin, dia mengemukakan bahwa eksistensi yang mungkin itu bergantung pada yang pasti, dan karena ia maujud akibat dari sesuatu yang laindari dirinya, tidak dapat dikatakan bahwa ia dalam keadaan maujud sebab penciptaan yang maujud itu mustahil. Karena sesuatu yang tidak maujud itu tidak ada, begitu juga Kemaujudan yang pasti itu, menciptakan yang mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut penciptaan dan hal-hal yang ada itu di sebut yang tercipta (muhdats).
Refleksi akal pertama dikatakannya sebagai telah menciptakan akal, jiwa dan tubuh lingkungan pertama. Dikemukakannya bahwa sikap ini jelas mengisyaratkan kemajemukan pada yang tercipta oleh akal pertama, yang bertentangan dengan prinsip bahwa dari satu ketakadaan muncul satu. Adapun mengenai sumber kemajemukan, lebih jauh dia mengemukakan bahwa kemajemukan bisa maujud melalui wawenamg Tuhan dan bisa pula tanpa wawenang Tuhan. Jika ia maujud, karena wewenang Tuhan, tidak ada keraguan lagi bahwa ia dating dari Tuhan. Dipihak lain jika ia maujud tanpa wewenang Tuhan, itu bererti adanya tuhan selain Allah.[7]

IV.      KESIMPULAN
Nasiruddi Al-Tusi lahir di kota Thuss (Iran) pada tahun 597 H/1201 M. dan wafat di Baghdad pada tahun 672 H/1274 M dalam usia 73 tahun. Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan Al-Thusi. Ia memperoleh panggilan dan gelar “Nasiruddin” (pembela agama).
Pemikiran filsafat Nasiruddin al-Thusi adalah mengenai:
1.    Filsafat moral
2.    Filsafat jiwa
3.    Metafisika
4.    Ketuhanan
5.    Logika

V.         PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan, demi sempurnanya penyusunan makalah selanjutnya.







[1]Yoesoep Souyb, Pemikiran Islam Merubah Dunia, (Medan: Firma Madju, 1984), hlm 200.
[2]M. Natsir Arsyad, Cendekiawan Muslim dari Khalili sampai Habibie, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 343-347
[3]Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 250.
[4]Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 250-251.
[5]Qadir C. A., Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hlm. 149.
[6]Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 255-256.
[7]Dedi supriyadi, pengantar filsafat Islam, hlm. 256-260.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar