Rabu, 22 Januari 2014

KHULUK,RUJUK DAN RAFA'


KHULUK, RUJUK DAN RAFA’

Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Matakuliah : Fiqh Munakahah
Dosen pengampu : H. Amin Farih, M.ag


Di susun oleh:
Arif Taufiqurrohman               (123111056)
Dede Widjayanto                    (123111078)
Fina Luthfia                            (123111073)
Nurul Hidayah                        (123111126)
Susi Afiarti                              (123111150)

FAKULTAS ILMU  TARBIYAH  DAN  KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

I.                   PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini sering terlihat di televisi, seorang isteri mengajukan gugat cerai terhadap suaminya. Berita tersebut semakin hangat, karena si penggugat yang sering diekspos di media televisi adalah figure atau artis-artis terkenal. Gugatan cerai tersebut ada yang berhasil, yaitu jatuhnya talak, atau karena keahlian hakim dan pengacara, gugat cerai urung dilanjutkan, sehingga rumah tangga mereka terselamatkan. Padahal mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan adalah dalam rangka melaksanakan perintah Allah s.w.t.
Pada dasarnya perceraian itu adalah hal yang di bolehkan tetapi hal tersebut adalah hal yang dibenci olah Allah SWT. Maka dari itu , sebisa mungkin manusia menghindari perceraian tersebut. Tetapi apbaila sudan terlanjur bercerai, maka haruslah kita berpikirkembali tentang apa yang sudah diputuskan karena suami mempunyai hak, yaitu hak merujuk kepada istri yang sudah terlanjur di ceraikan. Istilah “Rujuk” bayak sekali kita dengar atau kita ketahui, baik melalui televisi maupun secara langsung atau juga pengalaman orang tentang istilah tersebut. Dalam kesempatan kali ini kami akan sedikit menjelaskan tentang gambaran khulu’ dan ruju’.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa yang dimaksud dengan khulu’ ?
B.     Apa yang dimaksud dengan rafa?
C.     Apa yang dimaksud dengan rujuk?

III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Khulu’
Secara bahasa khulu’ dengan dibaca dhammah huruf kha’-nya dan sukun lam-nya. Dikatakan “istrinya cerai”, ia membuka baju, karena berarti perempuan menjadi terbuka dari baju suaminya. Allah SWT berfirman: (QS. Al-Baqarah (2): 187).
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uŠÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ª!$# öNà6¯Rr& óOçGYä. šcqçR$tFøƒrB öNà6|¡àÿRr& z>$tGsù öNä3øn=tæ $xÿtãur öNä3Ytã ( z`»t«ø9$$sù £`èdrçŽÅ³»t/ (#qäótFö/$#ur $tB |=tFŸ2 ª!$# öNä3s9 4 (#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝøsƒø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsƒø:$# ÏŠuqóF{$# z`ÏB ̍ôfxÿø9$# ( ¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@øŠ©9$# 4 Ÿwur  ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3 y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydqç/tø)s? 3 y7Ï9ºxx. ÚúÎiüt6ムª!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 šcqà)­Gtƒ ÇÊÑÐÈ  
 “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri´tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. 
Secara syara’, khulu’ adalah berpisahnya suami dari istrinya dengan memberi ganti yang diambil suami dari istrinya atau selainnya, dengan kata tertentu.[1] Dalam khadist dijelaskan bahwa:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ اِلَى النَّبِيّ ص فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنّى مَا اَعْتِبُ عَلَيْهِ فِى خُلُقٍ وَ لاَ دِيْنٍ، وَ لَكِنّى اَكْرَهُ اْلكُفْرَ فِى اْلاِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَتَرُدّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِقْبَلِ اْلحَدِيْقَةَ وَ طَلّقْهَا تَطْلِيْقَةً.) البخارى و النسائى، فى نيل الاوطار(
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi SAW, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela dia (suamiku) tentang akhlaq dan agamanya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Maukah kamu mengembalikan kebunmu kepadanya ?”. Ia menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda (kepada Tsabit), “Terimalah kebunmu itu dan thalaqlah dia sekali”.[2]
Dalam kitab Kifayatul Akhyar dijelaskan khulu’ adalah perceraian antara suami istri yang mana suami menerima tebusan dari istrinya dan Khulu’ dibenarkan dalam agama. Dalam menjalankan khulu ada beberapa syarat yang harus dipenuhu seperti ukurannya jelas, dapat diserahkan, hak miliknya. Jika tidak memenuhi syarat-syarat di atas maka khulu’ tersebut fasid.[3]
Prinsip dalam pernikahan hendaknya berdasarkan kacintaan, kasih sayang, dan baiknya berhubungan. Masing-masing dari suami istri memberikan hak-haknya. Walaupun kadang kala terjadi laki-laki memaksa istrinya untuk melakukan sesuatu, ataupun istri memaksa suaminya. Islam dalam keadaan seperti ini berwasiat untuk sabar dan mempertimbangkan. Islam menasihati untuk mengobati berbagai penyebab yang menjadikan kebencian. Allah SWT berfirman: (QS. An-Nisa’ (4): 19)
$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw @Ïts öNä3s9 br& (#qèO̍s? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( Ÿwur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷d̍x. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© Ÿ@yèøgsur ª!$# ÏmŠÏù #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 ÇÊÒÈ  
 “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. 
Tetapi kebencian adakalanya semakin bertambah dan bertambah. Perselisihan dan perbedaan antara keduanya semakin menjadi-jadi. Ketika panyambuhan sulit dan pihak keluarga tidak bisa menerima perdamaian, pada waktu itu Islam menoleransi untuk memutuskan ikatan.
Jika kebencian itu timbul dari pihak laki-laki maka hak talak baginya. Dialah yang memiliki hak-hak untuk menggunakannya sesuai batasan-batasan yang disyariatkan Allah SWT. Adapun jika kebencian dari pihak istri, maka Islam membolehkan untuk melepaskan hubungan ini dengan cara khulu’.[4]
Khulu’ diperbolehkan dalam agama Islam, hal ini berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah ayat (229)
...... 3 Ÿwur @Ïts öNà6s9 br& (#räè{ù's? !$£JÏB £`èdqßJçF÷s?#uä $º«øx© HwÎ) br& !$sù$sƒs žwr& $yJŠÉ)ムyŠrßãm «!$# ( ÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz žwr& $uKÉ)ムyŠrßãn «!$# Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã $uKÏù ôNytGøù$# ¾ÏmÎ/ 3 ...... ÇËËÒÈ  
”Dan tidak halal bagi kamu mengambil dari sesautu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya (suami isteri) khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.”
Dalam ayat diatas khulu’ hukumnya mubah. Ulama Syafi’iah berpendapat bahwa hukum asal melakukan khulu’ adalah makruh, hanya saja bisa menjadi sunnah hukumnya bila istri ternyata tidak baik dalam bergaul dengan suaminya. Khulu’ tidak bisa menjadi haram dan tidak bisa pula menjadi wajib.[5]
Adapun yang menjadi rukun dari khulu’ adalah suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan, istri yang meminta cerai dari suaminya dengan tebusan, uang tebusan atau ganti rugi atau iwadh, sighat atau ucapan cerai. Sedangkan syarat dari khulu seperti:
a.       Suami
Syarat suami yang menceraikan istrinya dalam bentuk Khulu’ sebagaimana yang berlaku dalam thalak adalah seorang yang ucapannya telah diperhitungkan secara syara, yaitu akil, baligh, dan bertindak atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan. Berdasarkan syarat ini. Bila suami masih belum dewasa atau suami sedang dalam keadaan gila pula maka yang akan menceraikan dengan nama khulu’ adalah walinya. Demikian pula bila keadaan seseorang yang berada di bawah pengampuan karena kebodohannya, yang menerima permintaan khulu’ istri adalah walinya.
Dalam hal tersebut seluruh madzhab sepakat bahwa baligh dan berakal merupakan syarat yang wajib dipenuhi oleh laki-laki yang melakukan Khulu’. Sedang Hambali mengatakan, Khulu’ sebagaimana halnya dengan thalak, dianggap sah bila dilakukan oleh orang yang mumayyiz (telah mengerti sekalipun belum baligh), mereka juga sepakat tentang sahnya khulu’ yang dilakukan oleh orang safih, tetapi uang (harta) tebusannya harus diserahkan kepada walinya.
b.      Istri yang dikhulu’
Istri yang dikhulu’ kepada suaminya disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
  1. Ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah suami, dalam arti istrinya atau yang telah diceraikan, masih berada dalam iddah raj’iy.
  2. Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena untuk keperluan pengajuan Khulu’ ini ia harus menyerahkan harta. Untuk syarat ini ia harus seorang yang telah baligh, berakal, tidak berada di bawah pengampuan, dan sudah cerdas bertindak atas harta.
Para ulama madzhab sepakat istri yang mengajukan Khulu’ kepada suaminya wajib sudah baligh dan berakal sehat, dan mereka juga sepakat bahwa istri yang safih (idiot) tidak boleh mengajukan Khulu’ tanpa izin walinya,
Tujuan dari kebolehan khulu’ ialah untuk menghindarkan si istri dari kesulitan dan kemudharatan yang dirasakannya bila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan pihak si suami karna ia sudah mendapat iwadl dari istrinya atas pemintaan cerai dari istrinya itu.[6]
Menganai hikmah khulu’ Al- Jurjawi menuturkan: Khulu’ sendiri sebenarnya di benci oleh syariat yang mulia seperti halnya talak. Semua akal dan perasaan sehat menolak khulu’, hanya saja Allah Yang Maha Bijaksana memperbolehkannya untuk menolak bahaya ketika tidak mampu menegakkan hukum-hukum Allah.
Adapun hikmah yang terkandung di dalamnya sebagaimana telah di sebutkan adalah untuk menolak bahaya yaitu apabila perpecahan antara suami istri telah memuncak dan di kawatirkan keduanya tidak dapat menjaga syarat-syarat kdalam kehidupan suami istri, maka khulu’ dengan cara-cara yang telah di tetapkan oleh Allah, merupakan penolak terjadinya permusuhan dan untuk menegakkan hukum-hukum Allah.[7]
B.     Pengartian Rafaa?
Rafa merupakan pengaduan yang dilakukan oleh seorang isti atas suaminya ke pengadilan agama (qodli) dengan dasar suami tidak mampu lagi menjalankan tugas dan kewajiban sebagai seorang suami, karena sebuah persoalan seperti:
1.      Sebab Jununu (sakit gila)
2.      Sebab Juzamu (sakit lepra)
3.      Sebab Barash (sakit belang/)
4.      Sebab Jabbu (zakar putus)
5.      Sebab Unnatu (sakit impoten)
Dalam melakukan pengaduan ke pengadilan agama hendaknya ada bukti-bukti yang kuat.[8]


C.     Pengertian Rujuk
Menurut bahasa Arab, ruju’ berasal dari kata raja’a yarji’u ruj’an yang berarti “kembali” dan “mengembalikan”. Dalam istilah hukum Islam para fuqoha’ mengenal istilah ruju’ dan ruj’ah keduanya semakna.
Ulama Hanafiyah memberi definisi ruju’ sebagaimana dikemukaan oleh Abu Zahrah, sebagai berikut:
اَلرَّجْعَةُ اِسْتِدَامَةُ النِّكَاحِ فِى أَثْنَاءِ عِدَّةِ الطَّلَاقِ
Ruju’ ialah melestarikan perkawinan dalam masa iddah talak (raj’i).[9]

Menurut Imam Syafi’i:
اَلرَّجْعَةِ اِعَادَةُ اَحْكَامِ الزَّوَاجِ فِى أَثْنَاءِ العِدَّةِ بَعْدَ الطَّلاَقِ
Ruju’ ialah mengembalikan status hukum perkawinan sebagai suami istri di tengah-tengah iddah setelah terjadinya talak (raj’i).[10]

Dari kedua pendapat diatas dapat dirumuskan bahwa ruju’ ialah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah dengan ucapan tertentu.[11] Apabila waktu iddah telah habis dan ingin kembali, maka perlu nikah lagi dan thalaknya tetap dihitung dalam bilangan.[12]
Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan terjadinya talak antara suami meskipun berstatus talak raj’i, namun pada dasarnya talak itu mengakibatkan keharaman hubungan seksual antara keduanya, sebagaimana laki-laki lain juga diharamkan melakukan hal yang serupa itu. Kendati suami dalam masa iddah berhak merujuk bekas istrinya itu dan mengembalikannya sebagaimana suami istri yang sah secara penuh, namun karena timbulnya keharaman itu berdasarkan talak yang diucapkan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya itu, maka untuk menghalalkan kembali bekas istrinya lagi haruslah dengan pernyataan ruju’ yang diucapkan oleh bekas suami dimaksud.
Hukum rujuk adalah boleh. Hal ini derdasarkan firman Allah SWT: (Al-Baqarah: 228)
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ  
 “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 
Adapun rukun rujuk yang disepakati oleh ulama adalah adanya ucapan rujuk, mantan suami yang merujuk dan mantan istri yang dirujuk. Sedangkan syarat yang harus dipenuhi adalah:
1.      Laki-laki yang merujuk. Adapun syarat bagi laki-laki yang merujuk adalah sebagai berikut:
a.       Laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang dirujuk yang dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah.
b.      Laki-laki yang merujuk yaitu telah dewasa dan sehat akalnya dan bertindak dengan kesadaran sendiri.
2.      Perempuan yang dirujuk. Adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang dirujuk adalah:
a.       Perempuan itu adalah istri yang sah dari laki-laki yang merujuk.
b.      Istri telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i
c.       Istri masih berada dalam iddah talak raj’i.
d.      Istri telah digauli dalam masa perkawinan.
3.      Ada ucapan rujuk yang diucapkan oleh laki-laki yang merujuk.
4.      Kesaksian dalam rujuk.[13]
Diaturnya rujuk dalam hukum syara’ karna padanya terdapat beberapa  hikmah yang akan pmendatangkan kemaslahatan kepada manusia atau menghilangkan kesulitan dari manusia. Banyak orang mencerai istrinya tidak dengan pertimbangan yang matang sehingga setelah terjadi perceraian timbul penyesalan disatu atau kedua belah pihak. Dalam keadaan menyesal itu sering timbul keinginan untuk kembali dalam hidup perkawinan,  namun akan memulai hidup perkawinan yang baru menghadapi beberapa kendala dan kesulitan. Adanya rujuk ini menghilangkan kendala dan kesulitan tersebut.
Seorang istri yang berada dalam iddah thalaq raj’i disatu sisi diharuskan tinggal dirumah yang disediakan oleh sang suaminya, sedangkan suami dalam keadaan tertentu diam dirumah itu juga; disisi lain ia tidak boleh bergaul dengan istrinya itu.  Maka terjadilah kecanggungan psikologi dalam masa iddah itu.  Untuk keluar dari masalah ini Allah memberi pilihan yang mudah untuk diikuti yaitu kembali kepada kehidupan perkawinan sebagaimana semula. Kalau tidak mungkin ya, meninggalkan istri sampai habis masa iddah-nya  sehingga perkawinan betul-betul menjadi putus atau bain.[14]
IV.             PENUTUP
Secara syara’, khulu’ adalah berpisahnya suami dari istrinya dengan memberi ganti yang diambil suami dari istrinya atau selainnya, dengan kata tertentu. Dan rafa adalah pengaduan yang dilakukan oleh seorang isti atas suaminya ke pengadilan agama (qodli) dengan dasar suami tidak mampu lagi menjalankan tugas dan kewajiban sebagai seorang suami. Sedangkan ruju’ adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah dengan ucapan tertentu. Dan hukum asal ketiganya adalah mubah.
            Demikian makalah yang dapat penulis susun. Apabila ada kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian materi ini, penulis mohon maaf. Sebagai manusia biasa yang menjadi tempatnya salah dan lupa, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Untuk kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah selanjutnya. Dan harapan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin.















DAFTAR PUSTAKA
Amin, Syadlirin, Tabyin Al- Islah Li Muridin Nikah
As-Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga, Jakarta: Amzah, 2010
Ghozali, Abdul Rahman,  Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, 2010
Rifa’i, Moh, dkk, Kifayatul Akhyar
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia , Jakarta: Prenada Media Croup, 2009
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat, Jakarta: Rajawali Pers, 2009



[1] Dr. Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 346
[2] Nailul Authar juz 6, hal. 276
[3] Drs. Moh Rifa’i, dkk, Kifayatul Akhyar, hlm. 306
[4] Dr. Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 345-346
[5] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A, Fiqh Munakahat,(Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 225
[6] Prof. DR. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ,(Jakarta: Prenada Media Croup, 2009), hlm. 234

[7] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A, Fiqh Munakahat,(Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 226-227
[8] K.H.Syadlirin Amin,  Tabyin Al- Islah Li Muridin Nikah
[9] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A, Fiqh Munakahat,(Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 285
[10]Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm 327
[11] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A, Fiqh Munakahat,(Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 286
[12] Drs. Moh Rifa’i, dkk, Kifayatul Akhyar, hlm. 321
[13] Prof. DR. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ,(Jakarta: Prenada Media Croup, 2009), hlm. 341-343
[14] Prof. DR. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ,(Jakarta: Prenada Media Croup, 2009), hlm. 240