KHULUK, RUJUK DAN RAFA’
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Matakuliah : Fiqh Munakahah
Dosen pengampu : H. Amin
Farih, M.ag
Di susun oleh:
Arif Taufiqurrohman (123111056)
Dede
Widjayanto (123111078)
Fina
Luthfia (123111073)
Nurul
Hidayah (123111126)
Susi
Afiarti (123111150)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN
KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini sering terlihat di televisi, seorang
isteri mengajukan gugat cerai terhadap suaminya. Berita tersebut semakin
hangat, karena si penggugat yang sering diekspos di media televisi adalah
figure atau artis-artis terkenal. Gugatan cerai tersebut ada yang berhasil,
yaitu jatuhnya talak, atau karena keahlian hakim dan pengacara, gugat cerai
urung dilanjutkan, sehingga rumah tangga mereka terselamatkan. Padahal mereka
mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan adalah dalam rangka melaksanakan
perintah Allah s.w.t.
Pada dasarnya perceraian itu adalah hal yang di bolehkan
tetapi hal tersebut adalah hal yang dibenci olah Allah SWT. Maka dari itu ,
sebisa mungkin manusia menghindari perceraian tersebut. Tetapi apbaila sudan
terlanjur bercerai, maka haruslah kita berpikirkembali tentang apa yang sudah
diputuskan karena suami mempunyai hak, yaitu hak merujuk kepada istri yang
sudah terlanjur di ceraikan. Istilah “Rujuk” bayak sekali kita dengar
atau kita ketahui, baik melalui televisi maupun secara langsung atau juga
pengalaman orang tentang istilah tersebut. Dalam kesempatan kali ini kami akan
sedikit menjelaskan tentang gambaran khulu’ dan ruju’.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa yang dimaksud dengan khulu’ ?
B.
Apa yang dimaksud dengan rafa?
C.
Apa yang dimaksud dengan rujuk?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khulu’
Secara bahasa khulu’ dengan dibaca dhammah huruf
kha’-nya dan sukun lam-nya. Dikatakan
“istrinya cerai”, ia membuka baju, karena berarti perempuan menjadi terbuka
dari baju suaminya. Allah SWT berfirman: (QS. Al-Baqarah (2): 187).
¨@Ïmé&
öNà6s9
s's#øs9
ÏQ$uÅ_Á9$#
ß]sù§9$#
4n<Î)
öNä3ͬ!$|¡ÎS
4
£`èd
Ó¨$t6Ï9
öNä3©9
öNçFRr&ur
Ó¨$t6Ï9
£`ßg©9
3
zNÎ=tæ
ª!$#
öNà6¯Rr&
óOçGYä.
cqçR$tFørB
öNà6|¡àÿRr&
z>$tGsù
öNä3øn=tæ
$xÿtãur
öNä3Ytã
(
z`»t«ø9$$sù
£`èdrçų»t/
(#qäótFö/$#ur
$tB
|=tF2
ª!$#
öNä3s9
4
(#qè=ä.ur
(#qç/uõ°$#ur
4Ó®Lym
tû¨üt7oKt
ãNä3s9
äÝøsø:$#
âÙuö/F{$#
z`ÏB
ÅÝøsø:$#
ÏuqóF{$#
z`ÏB
Ìôfxÿø9$#
(
¢OèO
(#qJÏ?r&
tP$uÅ_Á9$#
n<Î)
È@ø©9$#
4
wur
Æèdrçų»t7è?
óOçFRr&ur
tbqàÿÅ3»tã
Îû
ÏÉf»|¡yJø9$#
3
y7ù=Ï?
ßrßãn
«!$#
xsù
$ydqç/tø)s?
3
y7Ï9ºxx.
ÚúÎiüt6ã
ª!$#
¾ÏmÏG»t#uä
Ĩ$¨Y=Ï9
óOßg¯=yès9
cqà)Gt
ÇÊÑÐÈ
“Dihalalkan bagi kamu
pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah
pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu
dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri´tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa. “
Secara syara’, khulu’ adalah berpisahnya suami dari istrinya dengan memberi ganti
yang diambil suami dari istrinya atau selainnya, dengan kata tertentu.[1] Dalam khadist dijelaskan bahwa:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةُ
ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ اِلَى النَّبِيّ ص فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ
اللهِ، اِنّى مَا اَعْتِبُ عَلَيْهِ فِى خُلُقٍ وَ لاَ دِيْنٍ، وَ لَكِنّى
اَكْرَهُ اْلكُفْرَ فِى اْلاِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَتَرُدّيْنَ
عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِقْبَلِ
اْلحَدِيْقَةَ وَ طَلّقْهَا تَطْلِيْقَةً.) البخارى و النسائى، فى نيل الاوطار(
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Istri Tsabit bin
Qais bin Syammas datang kepada Nabi SAW, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah,
sesungguhnya aku tidak mencela dia (suamiku) tentang akhlaq dan agamanya,
tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam”. Kemudian Rasulullah SAW
bertanya, “Maukah kamu mengembalikan kebunmu kepadanya ?”. Ia menjawab, “Ya”.
Lalu Rasulullah SAW bersabda (kepada Tsabit), “Terimalah kebunmu itu dan
thalaqlah dia sekali”.[2]
Dalam kitab Kifayatul Akhyar dijelaskan khulu’ adalah perceraian antara suami
istri yang mana suami menerima tebusan dari istrinya dan Khulu’
dibenarkan dalam agama. Dalam menjalankan
khulu ada beberapa syarat yang harus dipenuhu seperti ukurannya
jelas, dapat diserahkan, hak miliknya. Jika tidak memenuhi
syarat-syarat di atas maka khulu’
tersebut fasid.[3]
Prinsip dalam pernikahan hendaknya
berdasarkan kacintaan, kasih sayang, dan baiknya berhubungan. Masing-masing
dari suami istri memberikan hak-haknya. Walaupun kadang kala terjadi laki-laki
memaksa istrinya untuk melakukan sesuatu, ataupun istri memaksa suaminya. Islam
dalam keadaan seperti ini berwasiat untuk sabar dan mempertimbangkan. Islam
menasihati untuk mengobati berbagai penyebab yang menjadikan kebencian. Allah
SWT berfirman: (QS. An-Nisa’ (4): 19)
$ygr'¯»t
z`Ï%©!$#
(#qãYtB#uä
w
@Ïts
öNä3s9
br&
(#qèOÌs?
uä!$|¡ÏiY9$#
$\döx.
(
wur
£`èdqè=àÒ÷ès?
(#qç7ydõtGÏ9
ÇÙ÷èt7Î/
!$tB
£`èdqßJçF÷s?#uä
HwÎ)
br&
tûüÏ?ù't
7pt±Ås»xÿÎ/
7poYÉit6B
4
£`èdrçÅ°$tãur
Å$rã÷èyJø9$$Î/
4
bÎ*sù
£`èdqßJçF÷dÌx.
#Ó|¤yèsù
br&
(#qèdtõ3s?
$\«øx©
@yèøgsur
ª!$#
ÏmÏù
#Zöyz
#ZÏW2
ÇÊÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal
bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan
bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. “
Tetapi kebencian adakalanya semakin
bertambah dan bertambah. Perselisihan dan perbedaan antara keduanya semakin
menjadi-jadi. Ketika panyambuhan sulit dan pihak keluarga tidak bisa menerima
perdamaian, pada waktu itu Islam menoleransi untuk memutuskan ikatan.
Jika kebencian itu timbul dari pihak
laki-laki maka hak talak baginya. Dialah yang memiliki hak-hak untuk
menggunakannya sesuai batasan-batasan yang disyariatkan Allah SWT. Adapun jika
kebencian dari pihak istri, maka Islam membolehkan untuk melepaskan hubungan
ini dengan cara khulu’.[4]
Khulu’ diperbolehkan dalam agama Islam,
hal ini berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah ayat (229)
...... 3
wur
@Ïts
öNà6s9
br&
(#räè{ù's?
!$£JÏB
£`èdqßJçF÷s?#uä
$º«øx©
HwÎ)
br&
!$sù$ss
wr&
$yJÉ)ã
yrßãm
«!$#
(
÷bÎ*sù
÷LäêøÿÅz
wr&
$uKÉ)ã
yrßãn
«!$#
xsù
yy$oYã_
$yJÍkön=tã
$uKÏù
ôNytGøù$#
¾ÏmÎ/
3
...... ÇËËÒÈ
”Dan
tidak halal bagi kamu mengambil dari sesautu yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya (suami isteri) khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.”
Dalam ayat diatas khulu’ hukumnya mubah.
Ulama Syafi’iah berpendapat bahwa hukum asal melakukan khulu’ adalah makruh,
hanya saja bisa menjadi sunnah hukumnya bila istri ternyata tidak baik dalam
bergaul dengan suaminya. Khulu’ tidak bisa menjadi haram dan tidak bisa pula
menjadi wajib.[5]
Adapun yang menjadi rukun dari khulu’
adalah suami yang menceraikan istrinya
dengan tebusan, istri
yang meminta cerai dari suaminya dengan tebusan, uang tebusan atau ganti rugi atau
iwadh, sighat atau ucapan cerai. Sedangkan
syarat dari khulu seperti:
a.
Suami
Syarat suami yang menceraikan
istrinya dalam bentuk Khulu’ sebagaimana yang berlaku dalam thalak adalah
seorang yang ucapannya telah diperhitungkan secara syara, yaitu akil, baligh,
dan bertindak atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan. Berdasarkan
syarat ini. Bila suami masih belum dewasa atau suami sedang dalam keadaan gila
pula maka yang akan menceraikan dengan nama khulu’ adalah walinya. Demikian
pula bila keadaan seseorang yang berada di bawah pengampuan karena
kebodohannya, yang menerima permintaan khulu’ istri adalah walinya.
Dalam hal tersebut seluruh madzhab
sepakat bahwa baligh dan berakal merupakan syarat yang wajib dipenuhi oleh
laki-laki yang melakukan Khulu’. Sedang Hambali mengatakan, Khulu’ sebagaimana
halnya dengan thalak, dianggap sah bila dilakukan oleh orang yang mumayyiz (telah
mengerti sekalipun belum baligh), mereka juga sepakat tentang sahnya khulu’
yang dilakukan oleh orang safih, tetapi uang (harta) tebusannya harus
diserahkan kepada walinya.
b. Istri
yang dikhulu’
Istri yang dikhulu’ kepada suaminya
disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
- Ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah suami, dalam arti istrinya atau yang telah diceraikan, masih berada dalam iddah raj’iy.
- Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena untuk keperluan pengajuan Khulu’ ini ia harus menyerahkan harta. Untuk syarat ini ia harus seorang yang telah baligh, berakal, tidak berada di bawah pengampuan, dan sudah cerdas bertindak atas harta.
Para ulama madzhab sepakat istri
yang mengajukan Khulu’ kepada suaminya wajib sudah baligh dan berakal sehat,
dan mereka juga sepakat bahwa istri yang safih (idiot) tidak boleh mengajukan
Khulu’ tanpa izin walinya,
Tujuan dari kebolehan khulu’ ialah untuk
menghindarkan si istri dari kesulitan dan kemudharatan yang dirasakannya bila
perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan pihak si suami karna ia sudah mendapat iwadl
dari istrinya atas pemintaan cerai dari istrinya itu.[6]
Menganai hikmah khulu’ Al- Jurjawi menuturkan: Khulu’
sendiri sebenarnya di benci oleh syariat yang mulia seperti halnya talak. Semua
akal dan perasaan sehat menolak khulu’, hanya saja Allah Yang Maha
Bijaksana memperbolehkannya untuk menolak bahaya ketika tidak mampu menegakkan
hukum-hukum Allah.
Adapun hikmah yang terkandung di dalamnya sebagaimana
telah di sebutkan adalah untuk menolak bahaya yaitu apabila perpecahan antara
suami istri telah memuncak dan di kawatirkan keduanya tidak dapat menjaga
syarat-syarat kdalam kehidupan suami istri, maka khulu’ dengan cara-cara
yang telah di tetapkan oleh Allah, merupakan penolak terjadinya permusuhan dan
untuk menegakkan hukum-hukum Allah.[7]
B.
Pengartian
Rafaa?
Rafa merupakan
pengaduan yang dilakukan oleh seorang isti atas suaminya ke pengadilan agama
(qodli) dengan dasar suami tidak mampu lagi menjalankan tugas dan kewajiban sebagai seorang suami, karena
sebuah persoalan seperti:
1. Sebab Jununu (sakit
gila)
2. Sebab Juzamu (sakit
lepra)
3. Sebab Barash (sakit
belang/)
4. Sebab Jabbu (zakar
putus)
5. Sebab Unnatu (sakit
impoten)
Dalam melakukan pengaduan ke pengadilan agama hendaknya
ada bukti-bukti yang kuat.[8]
C. Pengertian Rujuk
Menurut bahasa Arab, ruju’ berasal dari kata raja’a yarji’u ruj’an yang berarti
“kembali” dan “mengembalikan”. Dalam istilah hukum Islam para fuqoha’ mengenal istilah ruju’ dan ruj’ah keduanya semakna.
Ulama Hanafiyah memberi definisi ruju’
sebagaimana dikemukaan oleh Abu Zahrah, sebagai berikut:
اَلرَّجْعَةُ
اِسْتِدَامَةُ النِّكَاحِ فِى أَثْنَاءِ عِدَّةِ الطَّلَاقِ
Ruju’ ialah
melestarikan perkawinan dalam masa iddah talak (raj’i).[9]
Menurut Imam Syafi’i:
اَلرَّجْعَةِ
اِعَادَةُ اَحْكَامِ الزَّوَاجِ فِى أَثْنَاءِ العِدَّةِ بَعْدَ الطَّلاَقِ
Ruju’ ialah
mengembalikan status hukum perkawinan sebagai suami istri di tengah-tengah
iddah setelah terjadinya talak (raj’i).[10]
Dari kedua pendapat diatas dapat
dirumuskan bahwa ruju’ ialah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh
setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas
istrinya dalam masa iddah dengan ucapan tertentu.[11]
Apabila waktu iddah telah habis dan ingin kembali, maka perlu nikah lagi dan
thalaknya tetap dihitung dalam bilangan.[12]
Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan
bahwa dengan terjadinya talak antara suami meskipun berstatus talak raj’i,
namun pada dasarnya talak itu mengakibatkan keharaman hubungan seksual antara
keduanya, sebagaimana laki-laki lain juga diharamkan melakukan hal yang serupa
itu. Kendati suami dalam masa iddah berhak merujuk bekas istrinya itu dan
mengembalikannya sebagaimana suami istri yang sah secara penuh, namun karena
timbulnya keharaman itu berdasarkan talak yang diucapkan oleh bekas suami
terhadap bekas istrinya itu, maka untuk menghalalkan kembali bekas istrinya
lagi haruslah dengan pernyataan ruju’ yang diucapkan oleh bekas suami dimaksud.
Hukum rujuk adalah boleh. Hal ini
derdasarkan firman Allah SWT: (Al-Baqarah: 228)
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur
ÆóÁ/utIt
£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/
spsW»n=rO
&äÿrãè%
4
wur
@Ïts
£`çlm;
br&
z`ôJçFõ3t
$tB
t,n=y{
ª!$#
þÎû
£`ÎgÏB%tnör&
bÎ)
£`ä.
£`ÏB÷sã
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
4
£`åkçJs9qãèç/ur
,ymr&
£`ÏdÏjtÎ/
Îû
y7Ï9ºs
÷bÎ)
(#ÿrß#ur&
$[s»n=ô¹Î)
4
£`çlm;ur
ã@÷WÏB
Ï%©!$#
£`Íkön=tã
Å$rá÷èpRùQ$$Î/
4
ÉA$y_Ìh=Ï9ur
£`Íkön=tã
×py_uy
3
ª!$#ur
îÍtã
îLìÅ3ym
ÇËËÑÈ
“Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “
Adapun rukun rujuk yang disepakati oleh ulama adalah adanya ucapan rujuk, mantan suami yang merujuk dan mantan istri yang
dirujuk. Sedangkan syarat yang harus
dipenuhi adalah:
1.
Laki-laki
yang merujuk. Adapun syarat bagi laki-laki yang merujuk adalah sebagai berikut:
a.
Laki-laki
yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang dirujuk yang dia menikahi
istrinya itu dengan nikah yang sah.
b.
Laki-laki
yang merujuk yaitu telah dewasa dan sehat akalnya dan bertindak dengan kesadaran
sendiri.
2.
Perempuan
yang dirujuk. Adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang dirujuk adalah:
a.
Perempuan
itu adalah istri yang sah dari laki-laki yang merujuk.
b.
Istri
telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i
c.
Istri
masih berada dalam iddah talak raj’i.
d.
Istri
telah digauli dalam masa perkawinan.
3.
Ada ucapan
rujuk yang diucapkan oleh laki-laki yang merujuk.
4.
Kesaksian
dalam rujuk.[13]
Diaturnya rujuk dalam hukum syara’ karna padanya
terdapat beberapa hikmah yang akan pmendatangkan kemaslahatan kepada
manusia atau menghilangkan kesulitan dari manusia. Banyak orang mencerai
istrinya tidak dengan pertimbangan yang matang sehingga setelah terjadi
perceraian timbul penyesalan disatu atau kedua belah pihak. Dalam keadaan
menyesal itu sering timbul keinginan untuk kembali dalam hidup
perkawinan, namun akan memulai hidup perkawinan yang baru menghadapi
beberapa kendala dan kesulitan. Adanya rujuk ini menghilangkan kendala dan kesulitan
tersebut.
Seorang istri yang berada dalam iddah thalaq raj’i
disatu sisi diharuskan tinggal dirumah yang disediakan oleh sang suaminya,
sedangkan suami dalam keadaan tertentu diam dirumah itu juga; disisi lain ia
tidak boleh bergaul dengan istrinya itu. Maka terjadilah kecanggungan
psikologi dalam masa iddah itu. Untuk keluar dari masalah ini Allah
memberi pilihan yang mudah untuk diikuti yaitu kembali kepada kehidupan
perkawinan sebagaimana semula. Kalau tidak mungkin ya, meninggalkan istri sampai
habis masa iddah-nya sehingga perkawinan betul-betul menjadi putus
atau bain.[14]
IV.
PENUTUP
Secara syara’, khulu’
adalah berpisahnya suami dari istrinya dengan memberi ganti yang diambil suami
dari istrinya atau selainnya, dengan kata tertentu. Dan rafa adalah pengaduan yang dilakukan oleh seorang isti atas suaminya
ke pengadilan agama (qodli) dengan dasar suami tidak mampu lagi
menjalankan tugas dan kewajiban sebagai seorang suami. Sedangkan ruju’ adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi
talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa
iddah dengan ucapan tertentu. Dan hukum asal ketiganya adalah mubah.
Demikian makalah yang dapat penulis susun. Apabila
ada kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian materi ini, penulis mohon maaf.
Sebagai manusia biasa yang menjadi tempatnya salah dan lupa, penulis menyadari
masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Untuk kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan
makalah selanjutnya. Dan harapan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Syadlirin, Tabyin Al- Islah Li Muridin
Nikah
As-Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga, Jakarta: Amzah, 2010
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta:
Prenada Media Group, 2010
Rifa’i, Moh, dkk, Kifayatul Akhyar
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia , Jakarta:
Prenada Media Croup, 2009
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh
Munakahat, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
[1] Dr.
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga,
(Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 346
[3]
Drs. Moh Rifa’i, dkk, Kifayatul Akhyar,
hlm. 306
[4] Dr.
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga,
(Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 345-346
[5]
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A, Fiqh
Munakahat,(Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 225
[6]
Prof. DR. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ,(Jakarta:
Prenada Media Croup, 2009), hlm. 234
[7]
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A, Fiqh
Munakahat,(Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 226-227
[9] Prof.
Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A, Fiqh
Munakahat,(Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 285
[10]Tihami
dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm
327
[11]
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A, Fiqh
Munakahat,(Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 286
[12] Drs.
Moh Rifa’i, dkk, Kifayatul Akhyar,
hlm. 321
[13]
Prof. DR. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ,(Jakarta:
Prenada Media Croup, 2009), hlm. 341-343
[14]
Prof. DR. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ,(Jakarta:
Prenada Media Croup, 2009), hlm. 240