Nama : Nurul Hidayah
Nim : 123111126
Tugas : UAS PSI
Islam merupakan variabel yang tidak
bisa dipisahkan atau di abaikan dalam politik Islam, sejak zaman pra Islam
sampai saat ini, ktika membicarakan Politik Indonesia mau tidak mau juga harus
membicarakan Islam, maka dari itu, pasang surut dan keterlibatan Islam dengan
politik ini menjadi hal yang harus diamati. Meskipun Republik Indonesia tidak
bisa terlepas dari Islam, Islam tidak pernah benar-benar menjadi pemain atau
pelaku utama dalam politik di Indonesia.
Menjelang Pilpres berbagai manuver
dan isu mulai tampak di depan mata, dan yang paling banyak terjadi adalah
dikalangan umat Islam. Maklum saja penduduk negeri ini mayoritas adalah umat
Islam, bahkan konon Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk beragama
Islam terbesar di dunia. Momentum Pilpres banyak dimanfaatkan oleh para calon
untuk mendekati dan “membujuk” agar umat Islam mendukung mereka. Safari
Politikpun dilakukan ke basis-basis umat islam khususnya umat Islam tradisional
yang tersebar di beberapa pesantren. Dari satu pesantren ke pesantren lainnya
kerap didatangi oleh para capres yang dikemas dengan berbagai macam label,
entah bentuknya Silaturrahmi atau dengan label yang berbeda. Seiring dengan
manuver para Capres banyak isu-isu miring yang mewarnainya. Isu itu sengaja
dihembuskan oleh simpatisan, mungkin juga tim para Capres, atau pihak lain yang
memancing di air keruh.
Setelah Pemilu tanggal 9 April 2014
usai, peta politik mulai bisa dilihat dan dirasakan, dukungan mulai mengerucut
dan yang paling santer dan sering menjadi headline news di berbagai media
pertarungan antara dua kandidat yakni Jokowi dan Prabowo. Isu-isu miringpun
mulai bermunculan menyertai keduanya, tak terkeculai isu SARA. Misalnya
baru-baru ini Jokowi yang didukung oleh salah satu parpol berbasis Islam yaitu
PKB diberitakan tidak bisa berwudhu dengan sempurna dan Jokowi dikabarkan
didukung oleh orang-orang anti Islam dan para konglomerat Kristen, salah
satunya adalah James Ready yang katanya getol melakukan kristenisasi di
Indonesia.Sementara disisi lain Prabowo yang juga didukung oleh parpol Islam
PPP dan diperkirakan PKS serta PAN juga akan ada di satu gerbong bersama
Gerindra mengusung Prabowo gencar pemberitaannya.Disebutkan bahwa Prabowo
terlahir dari rahim Dora Sigar seorang Kristen asal Manado, dan keluarga besar
Prabowo banyak yang beragama Kristen termasuk adiknya.
Satu hal yang dapat kita cermati
menjelang Pilpres 2014 pada 9 Juli yang akan datang, selain polarisasi di
tubuh umat Islam pada dua poros pasangan capres-cawapres, adalah adanya
kecenderungan untuk membawa simbolisme Islam ke dalam pusaran politik praktis.
Lebih jauh lagi ada upaya untuk menjadikan Islam sebagai alat serangan politik
dari satu pasangan pada pasangan lainnya.
Sayangnya kecenderungan tersebut
kadang-kadang dilakukan oleh sebagian elite Islam itu sendiri. Entah keceplosan
ataukah tidak, Amien Rais, misalnya, pernah mengibaratkan pilpres sebagai
perang sehingga ia meminta pada kalangan Islam yang mendukung Pasangan
Prabowo-Hatta untuk memiliki mental Perang Badr. Penggunaan istilah Perang Badr
menimbulkan kontroversi karena seolah-olah yang dilawan pasangan ini, yakni
Jokowi-JK adalah kaum kafir, sebab Perang Badr terjadi antara kaum Muslim dan Kafir.
Ada pula salah satu media online, yakni Voa Islam yang
menyebutkan bahwa Pilpres 2014 bagi umat Islam sebagai ajang pemilihan antara
Setan dan Jin. Setan jelas-jelas merupakan makhluk yang durhaka pada Tuhan
karena itu harus dijauhi, sedangkan jin masih mungkin diharapkan kebaikannya
karena di antara golongan jin ada yang Islam dan ada pula yang
kafir.Penggambaran ini jelas ditujukan pada dua pasangan capres-capres di mana
sebuatan setan ditujukan pada Jokowi dan jin pada Prabowo.
Pada saat yang sama banyak kalangan Islam yang
melancarkan berbagai serangan tajam bahkan kerap berbasis data palsu atau
berbau fitnah belaka atau yang dalam komunikasi politik biasa disebut dengan
kampanye hitam (black campaign) terutama terhadap Jokowi sebagai orang
yang bukan Islam,dekat dengan kalangan Nasrani, membiarkan orang non-Muslim
menjadi pemimpin dan sebagainya.Realitas tersebut dapat menimbulkan dampak yang
berbahaya terutama bagi keterlibatan Islam dalam politik Indonesia.
Disadari atau tidak, setiap pemeluk
agama apapun besar atau kecil akan memberikan kontribusi kepada agama yang
dianutnya, baik berupa materi atau berupa pemikiran. Yang perlu disadari oleh
umat Islam di Indonesia adalah negara ini bukan negara Islam tetapi negara
Pancasila yang Bhinneka Tunggal Ika. Dan di dalam negara Pancasila siapapun
berhak mencalonkan dan dicalonkan.
Hingga detik ini calon terkuatpun bukan berasal dari
kalangan pesantren. Jadi umat Islam Indonesia seharusnya mulai merenung dan
berfikir menjelang Pilpres mendatang bukan saatnya lagi kita terjebak pada isu
SARA, tetapi lihatlah gaya kepemimpinannya dan yang sekiranya sesuai dengan
pilihan hati kita. Namun tak ada salahnya umat Islam berdo’a agar beberapa hari
kedepan ada calon pemimpin alternatif yang memang religius dan juga punya sifat
nasionalis dan bisa mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Jika itupun tidak
terjadi semoga Tuhan menuntun langkah kita pada saat pencoblosan dan berdo’a
semoga Tuhan mengantar jemari kita untuk mencoblos salah satu calon yang ada
sekarang dan semoga siapapun yang terpilih kelak bisa mengemban anamah dan bisa
menjadi pemimpin yang “Rahmatan lil ‘alamin”.
Yang diperlukan umat Islam sekarang ini adalah
kedewasaan politik dalam menyikapi realitas politik. Perbedaan preferensi
politik di kalangan umat Islam sejatinya dipandang sebagai sesuatu yang alamiah
dan normal. Karena itu, tidak perlu ada saling serang antar mereka karena
pasangan capres-cawapres yang didukungnya berada. Justeru yang harus ditekankan
adalah bahwa keberadaan umat Islam di setiap pasangan tersebut bisa menjadi
sesuatu yang membawa nilai positif.
Salah satu cara untuk menjadi orang yang dewasa dalam
berpolitik adalah mengedepankan rasionalitas dalam politik sehingga umat Islam
benar-benar menjadi pemilih yang rasional (rational voters). Pemilih
rasional adalah mereka yang menjatuhkan pilihan politiknya berdasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan rasional, bukan pada emosi atau sentimen tertentu
seperti agama, suku, bahasa dan sebagainya. Oleh karena itu, membiasakan diri
untuk membaca dan menelaan visi, misi dan program kerja dari pasangan
capres-cawapres merupakan langkah yang sangat penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar